Sunday, January 28, 2007

Adonis

Seorang eksil adalah seorang yang ditundung . Ia hidup diluar negerinya sendiri, terusir seperti puluhan orang Indonesia yang tak bias pulang setelah 1965 karena paspor mereka dicabut tanpa dipastikan apa alasanya. Seorang tundungan pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum sampai kemanapun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah negeri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal namun bukan seperti tempat pulang.

Tak mengherankan bila ada yang retak disitu. Seperti ditulis dalam puisi Adonis, yang mengambil kiasan tokoh epos yunani kuno, Odiseus, pendekar perang yang pulang dari Troya dan menempuh wilayah-wilayah yang ganjil dan mengancam:


Namaku Odiseus
datang dari negeri tanpa batas
dipanggil orang ramai.
Aku sesat di sini, sesat disana
dengan sajakku
Dan kini aku disini, cemas dan jadi alum
tak tahu bagaimana tinggal
tak tahu bagaimana pulang


Adonis adalah Ali Ahmad Said, sastrawan yang lahir pada tahun 1990 di Al-Qassabin, dekat kota Lakasia, Suriah. Meskipun ia baru bersekolah ketika berumur 12, anak seorang petani yang juga imam masjid ini sudah belajar menulis dan membaca dari seorang guru deas. Pada tahun 1944 ia masuk sebuah sekolah Prancis di kota Tartus dan lulus pada 1950.

Di masa muda itu kegelisahanya sudah kelihatan: ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya dan ia dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956 ia meninggalkan tanahairnya dan pindah ke Lebanon bersama istrinya. Sampai lebih 20 tahun ia tinggal dan jadi warga Negara di tanah jiran itu, sampai perang saudara pecah dan tentara Israel memasuki Lebanon di tahun 1980-an. Di tahun 1986 Adonis pindah ke Paris.

“Saya akui bila saya dengar kata ‘perbatasan’, saya rasakan ia berubah jadi rantai yang berdencing dalam diri saya. BIla saya bayangkan ia dalam citra perang, dalam citra pagar kawat berduri, dan saya lihat bagaimana ia mulur memanjang kedalam pikiran orang banyak sebagaimana ia meregang di atas tanah, rasa ngeri mencengkam saya dari segala penjuru.”

Itu kata-katanya di tahun 2001. Pada saat itu ia sudah mengatasi “rasa ngeri”-nya. Sebab ia menemukan dalam kata “perbatasan” sesuatu yang lain: “bukan sebuah tembok atau ujung, melainkan sebuah awal dari jalan lain, pengetahuan lain, pencarian lain, dan ikatan lain…”

Tundungan itu berubah menjadi tampungan, bahkan kesempatan. Adonis punya argument untuk itu, sesuatu yang menurut pendapatnya sudah tercantum kedalam karya puisi lama Arab, yang menaruh pengertian tanahair bukan dalam kerangka geografis, melainkan dalam kaitanya dengan hakikat kemanusiaan: sebuah tanahair adalah tempat menumbuhkan kehormatan, seperti kata al-Mutanabi. Adonis bagkan mengutip kearifan Kalif keempat, Ali bin Abu Thalib: “Tak ada negeri yang lebih patut bagimu ketimbang negeri lain. Tanah utama adalah yang melahirkan kamu dengan baik’”

Kutipan itu agak kurang pada tempatnya. Sebab tanah yang “melahirkan dengan baik” tak sepenuhnya dapat dengan pas ditemukan. Adonis sendiri mengatakan, dalam imajinasi orang Arab ada sebuah wilayah yang tak bisa diketahui; ia ada bahkan dalam negeri yang diketahui dan dihuni. “Seakan-akan ada dua bagian, yang satu tampak dan yang lain tidak. Yang pertama diperintah oleh institusi, yang kedua oleh imajinasi. Yang terakhir ini kita kenal melalui mimpi, intuisi, imajinasi dan pengharapan, sedemikian rupa hingga ia seolah-olah penuh sesak dengan manusia yang tersembunyi, dalam bentuk jin, malaikat, penenung, pecinta, orang gila, dan petualang seperti Sinbad yang semua mencari yang baharu dan tak lazim.

Identitas kota yang tak tampak dan terletak di lapis bawah ini seakan-akan berasal “bukan dari awal atau akar, melainkan dari apa yang akan datang-dari sebuah masa depan yang dicitakanya.” Inilah kota yang mewujudkan “pintu keluar yang dinamis, eksit dari diri sendiri ke pertemuan dengan sesuatu atau seseorang lain.”

Tampak bahwa sang penyair-sudah tentu ia bagian dari penghuni kota di bawah, bersama pecinta, orang gila dan petualang-merayakan eksit, bukan esensi. Esensi berkaitan dengan apa yang disangka sebagai “akar” dan “awal”, esensialisme: ia tak percaya bahwa ada “sifat Arab” (atau “sifat Timur, “sifat Barat”) yang hakiki, tak berubah, dan menetap, dan baginya, penderitaan Odiseus-kalaupun terdengar sebagai sesuatu yang pedih-justru sesuatu yang heroic dan dipujikan:


Meski kau pulang, ah, Odiseus
meski kau terbendung ruang
dan pemandumu punah terbakar
di parasmu yang kehilangan
atau rasa ngerimu yang akrab
kau akan tetap sebuah cerita kelana
kau akan tetap di negeri yang tak berjanji
kau akan tetap di negeri yang tak kembali


Tapi bisakah kita hidup, juga sebagai orang tundungan, dalam eksit terus-menerus? Saya kira bisa. Namun saya merasa, dalam keadaan retak-antara asal yang telah jadi nostalgia dan “negeri yang tak berjanji”-seorang tundungan justru bahkan tak dapat mengklaim seperti yang dinyatakan Adonis: membuat frontier-yang sebenarnya memang berarti “wilayah depan”-bukan lagi tapal batas. Ia sendiri pernah menulis: ke sebuah rumah yang tanahnya kubawa sepanjang kembara, kutundukkan kepalaku.

Tiap “wilayah depan” selalu mengandung “wilayah belakang”, tiap pantai selalu punya pedalaman. Ketengangan antara keduanya bukanlah suatu yang mengasyikkan. Itulah sebabnya tundungan adalah peristiwa yang mengandung luka. Tiap eksit mengandung trauma.

Adonis agak mengabaikan luka itu pada akhirnya. Tapi ia memang dapat memberi inspirasi bagi kegairahan di dunia para orang gila dan penenung dan Sinbad, tempat yang baharu dan tak lazim senantiasa dicari. Hidup akan mati berkali-kali hanya dengan institusi.



Goenawan Mohamad
Tempo Ed 15-21 January 2007